Minggu, 02 Maret 2014

Kutipan Cinta di Akhir Senja |Cerpen Religi


Heningnya malam semakin hening, saat denting jam dinding seolah mengalun tanpa nada. Hembusan angin meniup sejuk, merayap membangunkan sosok wanita yang terbaring pulas. Mila.

“Subhaanallah”, ucap Mila.
Kemudian mengambil wudhu dan
segera mengerjakan shalat
malam.
Dengan kusyuk ia manghadap
Allah, berdoa dan memohon kepada-Nya. Menetes air mata seketika dari celah-celah mata yang penuh dengan harap. Berkali-kali ia memohon ampun, meminta petunjuk serta hidayah dari-Nya.

“Ya Allah Yang Maha Pengampun, sudikah kiranya Engkau mengampuni segala dosa yang telah ku buat? Berkali-kali hamba mendustai-Mu, mengingkari-Mu, juga berpaling dari-Mu. Hamba hanyalah kecil di hadapan-Mu. Bahkan sekalipun hamba beribu kali memohon ampun, tak lantas cukup untuk menebus segala dosa hamba. Hanya saja hamba yakin bahwa Engkau menyayangi hamba-Mu tanpa terkecuali. Hamba bukan hanya kecil ya Rabb, tapi juga lemah. Hamba tak berdaya tanpa-Mu. Apa yang hamba lakukan rasanya percuma jika tanpa ridha dari-Mu. Ya Allah Yang Maha Penentu Takdir, tempatkanlah hamba dalam ruang yang penuh oleh cahaya-Mu. Jika hamba jatuh cinta, maka jangan biarkan hamba mencintai makhluk melebihi hamba mencintai-Mu. Takdirkanlah hamba dengan jodoh yang benar-benar Engkau pilih. Yang mampu membawa rumah tangga kami ke dalam bahagia dunia maupun akhirat nanti. Aamiin.”

Keesokan harinya pertemuan dirinya dengan Ramlan pilihan kedua orang tuanya berlangsung. Ini adalah kali pertama Mila menjalani ta’aruf. Setelah menyambut kedatngan Ramlan dan keluarga, Mila bergegas ke dapur untuk menyiapkan jamuan, kemudian disusul sang ibu.

“Gimana Ndok? Kamu cocok?”tanya ibu.
“Apapun dan siapapun pilihan ibu dan ayah, cocok cocok saja. Tapi jika ditanya benar-benar cocok atau tidak, Mila belum tahu”, ucapnya sambil tersenyum.
“Ya sudah ayo jangan lama-lama di dapur!”
“Iya Bu.”

Beberapa saat kemudian Milapun menuju ke ruang tamu dengan membawa makanan dan minuman yang telah ia siapkan untuk menjamu Ramlan dan keluarga.

“Subhanallah cantik dan anggun sekali kamu Ndok!” ucap Umi Aminah (Ibunda Ramlan) kepada Mila.
“Terima kasih Umi”, jawab Mila dengan ramah, “Silahkan diminum!” lanjut Mila.

Ramlan yang datang dengan ibu dan pamannya terlihat gugup. Sang paman yang mewakili mendiang ayahnya menyampaikan maksud dari kedatangan mereka kepada keluarga Mila.

“Nak Mila, perkenalkan ini Ramlan. Ramlan, ini Mila. Walaupun Ramlan sebelumnya tidak pernah bertemu dan mengenal nak Mila. Tapi dengan niat karena Allah, kami datang ke hadapan keluarga Pak Imran, selain semata-mata ingin bersilaturahim juga bermaksud untuk melamar Nak Mila. Sudikah kiranya Bapak dan keluarga menerima lamaran kami terhadap putri Bapak?”
“Keputusan ada di tangan Mila. Bagaimana Ndok?” ucap sang ayah kepada Mila.
“Insya Allah, dengan niat ibadah kepada Allah, Mila menerima lamaran Mas Ramlan dan keluarga”, jawabnya.

Rona bahagia pun tampak seketika di wajah mereka. Terutama ayah dan ibu Mila, juga Umi Aminah. Umi Aminah kemudian memesangkan cincin pada jari manis Mila. Di susul ucapan “Alhamdulillah” dari mereka.

Satu minggu kemudian akad nikah dan pesta pernikahanpun berlangsung. Acara berlangsung dengan hikmat. Sanak saudara, kerabat dekat, majelis pengajian Umi Aminah, menghadiri acara tersebut dan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Mempelai wanita tampak sangat cantik dengan terbalut gaun pengantin warna putih dan jilbab yang menutup aurat kepalanya. Serasi dengan mempelai pria yang juga berpakaian warna senada. Dalam hati Mila bergumam.

“Alhamdulillah. Terima kasih Ya
Allah, Engkau telah mempertemukan hamba dengan jodoh hamba. Dengan laki-laki soleh, baik, dan tampan yang saat ini sedang duduk di samping hamba. Atas ridha-Mu, hamba jatuh cinta pada-Nya. Setelah penantian yang panjang, kini Kau anugerahi hamba perasaan yang indah ini. Semoga keindahan dari rasa ini akan senantiasa membawa berkah, bukan sebaliknya. Puji syukur atas segala nikmat dan karunia-Mu ya Allah.”

Pada malam harinya, mereka ditempatkan pada ruang kamar yang sama. Kamar dimana mereka akan mengalami kisah dan merajut cinta di dalamnya.

“Sebaiknya kamu tidur dulu saja Mila! Aku belum mengantuk.”
“Bukankah Mas juga capek?”
“Iya, tapi aku belum ingin tidur.”
“Ya sudah kalau begitu Mas berbaring saja dulu!”
“Tidak Mil, kamu tidur saja dulu ya! Aku mau menghirup udara di luar”, Ramlan pun beranjak dari kamar.
Sementara itu Mila tampak heran dengan sikap suaminya. Karena begitu lelah, Milapun akhirnya tertidur pulas. Keheranan Mila semakin besar saat mendapati suaminya hampir tiap malam tidak ingin tidur satu ranjang dengannya, melainkan di sofa.

Satu bulan kemudian Ramlan membeli rumah yang letaknya tidak jauh dari kediaman Umi Aminah.
“Umi, kami pamit ya”, ucap Mila kepada Umi.
“Iya Ndok, kalian hati-hati ya di sana. Maafkan Umi tidak bisa mengantar. Insya Allah setelah pangajian selesai Umi sempatkan mampir.”
“Iya Umi, tidak apa-apa. Umi hati- hati ya.”
“Oh iya sebentar! Umi ada sesuatu untuk kalian.”
Umi pun beranjak dan datang kembali dengan membawa bingkisan.
“Terima kasih Umi!” ucap Mila.
“Terima kasih Umi. Kalau begitu kami pamit ya”, ucap Ramlan.
“Asalamualaikum Umi”, Mila berucap salam sambil mencium tangan Umi.
“Waalaikumsalam”, jawab Umi.
“Asalamualaikum Umi”, Ramlan mencium tangan ibunya.
“Waalaikumsalam”, jawab Umi lagi.

Sesampainya di rumah baru
mereka.

“Alhamdulillah, akhirnya kita
sudah tidak bergantung pada
Umi lagi ya Mas? Semoga di rumah ini, apa yang kita sama-sama kerjakan selalu dirahmati Allah SWT" ucap Mila.
“Aamiin. Oh iya Mila, ini kamar
kamu.”
“Loh?” Mila terkejut dan heran, “Kok kamar Mila Mas? Bukan nya kamar kita berdua?” tukas Mila.

“Tidak. Kamarku yang itu!” sambil menunjuk ke arah kamar depan kamar Mila.

“Ada apa sih Mas sebetulnya? Tolong jelaskan! Jangan seperti
ini!” lirih Mila.

“Nanti akan ku jelaskan jika
waktunya tepat ya. Lebih baik
sekarang kamu shalat asar dulu! Tadi belum shalat asar kan?” Ramlan kemudian beranjak dari kamar Mila sambil mengucapkan,
“Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam”, jawab Mila
lirih.

Hingga pada suatu malam Mila
mendapati suaminya sedang
ingin melaksanakan shalat
malam. Mila pun bergegas
mengambil wudhu. Ramlan yang
shalat di kamarnya tak manyadari, bahwa pintu kamarnya tidak ia tutup kembali sekembalinya ia dari wudhu. Sedangkan Mila yang baru saja selesai wudhu, sengaja membuka sedikit pintu kamarnya agar ia bisa menjadi makmum suaminya Sementara
Ramlan tak menyadari hal itu. Di
sela-sela doa, terdengar isakkan tangis Ramlan yang begitu meluap. Sehingga membuat Mila ikut larut dalam isakkan itu. Ramlan berdoa di dalam hati.

“Ya Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa hamba. Hamba bagai tak
tahu diri. Hamba bak mengotori jiwa dan raga hamba sendiri dengan kebodohan hamba. Ya Allah tunjukkanlah jalan-Mu.
Keputusan hamba untuk menikah bukanlah langkah
hamba untuk berbuat dosa. Tapi karena hamba ingin berbakti kepada kedua orang tua hamba. Rasanya ilmu yang hamba miliki terbuang sia-sia, karena untuk menjadi imam keluarga saja hamba tidak bisa. Hamba tahu bagaimana tersiksanya istri hamba. Apa yang harus hamba lakukan Ya Allah? Hamba belum juga memberikannya nafkah
bathin yang mungkin telah lama
dia tunggu. Hamba tidak ingin terlalu larut menyakiti hatinya
yang lembut itu. Hamba telah keras mencintainya, hamba telah lama menunggu anugerah rasa itu dari-Mu untuk aku memberikannya kepada Mila, istri hamba. Tuntun hamba Ya Allah. Agar ibadahku selama ini tidak sia-sia. Agar hamba tidak tersesat dalam kelabu hati hamba. Ya Allah ajari hamba mencintai Mila. Mila yang baik, Mila yang soleha, yang pandai
harusnya mendapatkan pasangan yang benar-benar bisa membahagiakannya.
Amnpuni hamba Ya Allah, atas
dusta hamba kepada orang-
orang yang bahagia atas pernikahanku dengan Mila. Atas ingkarku kepada-Mu Ya Rabb,
ampuni hamba. Rabbanaa
aatinaa fiddunyaa hasanah, wa
fil aakhirati hasanah, waqinaa
‘adzaa ban naar. Aamin Ya
Robbal ‘alamin.”

Mila berdoa agar apa yang suaminya panjatkan, dikabulkan
Allah SWT. Beningnya air mata turut membasahi pipinya. Yang
ia harapkan ialah agar air mata
yang suaminya teteskan bukanlah air mata duka yang disebabkan olehnya. Mila sangat mencintai Ramlan, sehingga ia selalu berusaha untuk tidak menyakiti Ramlan. Hatinya memang berkecamuk, tapi cinta suci yang ia miliki masih benar-benar tersimpan untuk sang suami. Lambat pagi seraya menyentakkan bathinnya. Bathin yang selama ini telah mengeram, semakin tenggelam.

“Sarapan dlu Mas!” ucapnya
kepada Ramlan, lembut.
“Iya, terima kasih”, jawab Ramlan.
“Mas Ramlan sehat bukan?”
tanyanya.
“Alhamdulillah sehat.”
“Lalu kenapa wajahmu pucat
Mas?”
“Tak usah merisaukanku Mila!
Mungkin hanya karena kurang
tidur saja.”Mila tersenyum.
“Ada yang ingin ku katakan
Mila”, seru Ramlan.
“Apa itu Mas?”
“Minggu depan aku bertugas ke luar kota”
“Boleh Mila tahu, berapa lama?”
“Delapan bulan Mil.”

Seketika itu juga Mila menangis.
Setelah bathin yang menjerit sakit karena belum tersentuh
kasih suaminya, kini Mila harus menerima kenyataan suaminya
akan pergi dari pandangnya delapan bulan. Selama ini bathin
yang terluka telah terobati dengan keindahan mata yang
mampu menatap suami tercinta,
keindahan itu tersapu kelu
karena sang suami harus pergi untuk beberapa waktu.

“Kenapa kamu menangis Mil?”
“Cukup berat beban bathin
yang selama ini Mila pendam
Mas! Tapi beban itu hilang seketika saat Mila
mendapatimu setiap pagi dan sepulangmu dari kerja. Untuk
seorang istri tentunya berat melepaskan suaminya pergi, walau untuk beberapa saat saja. Mila bahagia bisa bersuamikan kamu, Mas. Sekalipun Mas belum pernah sedikitpun menyentuh Mila. Sekalipun Mila sering bertanya-tanya akan perasaan Mas terhadap Mila. Tapi Mila selalu yakin bahwa Mas mencintai Mila. Entah apa yang sebenarnya kau rencanakan Mas. Mila hanya ingin selalu berada di sisimu. Mila tidak sanggup menahan sakitnya bathin yang belum kau nafkahi dan kini Mila harus menanggungnya sendiri. Mila sudah terlalu sering mendustai Ibu, Ayah, dan Umi. Memang Mila bahagia, tapi bahagia yang seperti ini tak sedikitpun Mila harapkan. Jika pernikahan ini hanya melukai hatimu Mas, kenapa tak kau sudahi saja? Mila hanya ingin kita sama-sama bahagia”, ucap Mila dalam isak.

“Maafkan aku Mil. Aku tak
bermaksud melukaimu. Hanya saja cinta yang selama ini ku
tunggu belum juga hadir untukmu. Aku memang telah melukaimu juga melukai kedua orang tua kita. Aku sudah berusaha keras untuk bisa mencintaimu. Tapi… entahlah Mil, aku bingung. Aku tidak ingin mengecewakan Umi dan mendiang Abi.”

“Mas, kamu itu suamiku Seorang suami bukan hanya berkewajiban untuk mencintai istri. Tapi juga berkewajiban
untuk menafkahi istrinya lahir dan bathin. Beban apa yang memberatkanmu? Katakanlah!
Aku berhak tahu, kita bisa selesaikan bersama. Tidak seperti ini. Yang akhirnya
semakin memberatkan salah satu di antara kita. Ayo kita bawa rumah tangga ini ke jalan-
Nya.”
“Aku tidak bisa memberikanmu nafkah bathin, karena aku takut melukaimu Mila.”

“Melukaiku? Maksud Mas apa?”

“Aku takut, aku melakukannya hanya karena nafsu semata, bukan atas dasar cinta.”

“Kalau begitu lakukanlah dengan niat karena Allah. Mas, semua sudah menanyakan
kehamilanku.”

“Maafkan aku Mila.”

Mila beranjak dengan kesedihan
yang amat dalam. Di benaknya
hanya kosong. Ia benar-benar
tidak ingin suaminya pergi. Di
setiap doanya, ia selalu meminta agar rumah tangganya bahagia. Agar cinta yang selama ini bertepuk sebelah tangan
segera terlangkapi. Senjanya
seakan hilang entah kemana. Wanita solaha itu kini benar-
benar tiada daya. Pasrah dan iba selalu ia pasrahkan pada-
Nya.

Tiga hari kemudian, malam yang
cerah dengan keindahan bulan dan bintang. Bak terpercik tetes embun di gunung Sahara, hati Mila dipenuhi kesejukan. Bagaimana tidak, peluh penantian telah tertambatkan. Malam itu menjadi saksi peraduan cintanya dengan
sang suami. Subhanallah.

>> Pernikahan adalah komitmen
seumur hidup untuk mencintai seseorang meskipun mereka tidak layak dicintai, memaafkan
seseorang meskipun mereka mungkin tidak layak dimaafkan, untuk menghormati seseorang bahkan ketika mereka berada
dalam kondisi yang paling buruk dan untuk tidak pernah menyerah terhadap satu sama
lain << ( Dimas R A).

Tepat pada dua hari sesudahnya, Mila harus
merelakan kepergian suaminya
bertugas ke luar kota.
“Hati-hati ya Mas. Kalau ada
waktu luang, Mila mohon sempatkan untuk memberi
kabar. Doakan Mila agar Mila di
sini kuat dan tabah tanpamu
Mas”, ucapnya lantas tersenyum.

“Insya Allah Mila. Jangan lupa
mendoakanku ya. Semoga
sepulangku nanti, aku bisa memperbaiki keadaan kita. Selain urusan pekerjaan, akan ku jadikan perjalananku nanti sebagai waktu untuk aku merenung. Aku pamit ya, asalamualaikum.”

“Waalaikumsalam”, jawab Mila sambil mencium tangan Ramlan.

Pagi itu ia tetap mempertahankan senyum
simpul yang terpahat di
sudut bibirnya. Ia tak ingin
menampakkan kesedihan pada sang suami. Hatinya memang diburui kehancuran, tapi ia pun
tak ingin menjadi egois. Ia tau kepergian suaminya di jalan
yang baik. Untaian doa dan kasih sayang senantiasa ia curahkan untuk sang suami. Cintanya mengikis sakit yang diembannya. Cinta yang hanya
sebelah tangan bertepuk, setidaknya telah sedikit merajuk. Malam indah yang telah lalu, menjadi saksi bisu kebersamaan mereka di persinggahan cinta.

“Ya Allah, dalam derai air mata ini hamba mohon perbaiki iman dan akhlak hamba. Teguhkan setiap langkah hamba untuk mencari ridha-Mu. Dalam setiap rintihan taubatku, hamba mohon ampuni segala dosa-dosa hamba. Lindungilah suami hamba dalam setiap langkah dan tuturnya Ya Rabb.”

Suatu pagi ia merasakan mual
yang teramat kuat. Sehingga
mengharuskannya memeriksakan diri ke Dokter.

“Selamat ya Bu Mila. Anda
tengah hamil. Usia kehamilan
Anda hampir sudah mencapai satu bulan”, ucap Dokter kepada Mila.

Bersambung di part 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar