Selasa, 28 Januari 2014
Akidah Kaum Sarungan | Buku
tebuireng.org - Secara gari besar buku ini membahasa hal-hal yang selama ini tidak terpikirkan sebelumnya. Sebuah telaah menyeluruh dalam bidang akidah baik dari sisi metodologi, sejarah, epistimologi, maupun analisa faktual aktual, hingga detil-detil persoalan yang berhubungan langsung dengan akidah dan keimanan, terurai secara logis dalam setiap halaman buku ini.
Dari beberapa uraian panjang dalam buku ini, dapat ditarik titik simpul bahwa ajaran tauhid sejak masa Nabi Saw. hingga abad modern ini terus berkembang dan berubah-ubah, baik dari sisi ajaran maupun pola gerakannya. Tauhid yang pada masa Nabi Saw. dan sahabat hanya dimaknai sebagai penghayatan dan pengamalan, kini sudah bergeser menjadi (sekedar) wacana pemikiran. Akidah yang oleh Nabi Saw. dan sahabatnya dijadikan media peneguh keyakinan hati, disamping pendorong terlaksananya amal-amal ibadah, kini hanya menjadi bahan polemik dan pemanis bibir belaka (bahkan terkadang dibuat sarana mencari uang?).
Nah, kalau kita sepakat bahwa generasi yang paling patut dan (sudah seharusnya) kita ikuti adalah generasi Nabi Saw. dan sahabat- sahabatnya, maka kesimpulannya, corak akidah mereka lah yang harus kita ikuti. Ada tiga hipotesa yang membuat kami berkesimpulan semacam ini;
(1). Jika kita hendak mengaca pada tauhid periode tabiin atau periode munculnya firqah-firqah, maka kita akan terhalang oleh kecenderungan menguatnya kepentingan antar golongan. Sebab perdebatan teologis antar golongan pada periode ini lebih banyak didorong oleh adanya unsur politis dan kepentingan tertentu. Kecenderungan mau menang sendiri dan tidak bersedia menerima pendapat pihak lain, kiranya sudah cukup menjadi bukti bahwa akidah yang dipertahankan masing- masing golongan lebih banyak didasarkan pada kepentingan golongan (sektarian), bukan untuk mencari kemurnian akidah.
(2). Jika kita hendak mengikuti corak tauhid era penulisan kitab-kitab akidah, yakni sejak penghujung era pemerintahan Bani Umayyah hingga runtuhnya dinasti Bani Abbasyiah, maka kita akan terbentur oleh munculnya polemik yang tak berujung pangkal. Artinya, ajaran tauhid yang berkembang pada masa keemasan Islam ini banyak yang bersifat polemis dan berbentuk perdebatan yang bertujuan saling menjatuhkan antara satu sekte dengan sekte lainnya. Apalagi pada masa itu filsafat Yunani sudah masuk ke dunia Islam, sehingga persoalan-persoalan khusus yang sebenarnya tidak perlu diperbincangkan menjadi bebas diobral dengan perangkat metodologis filsafat. Akhirnya hal-hal yang dulunya oleh Nabi Saw. dilarang untuk dibicarakan, misalnya mengenai zat Allah Swt., pada periode ini begitu vulgar dibicarakan, seakan-akan para teolog periode ini sudah mampu menembus tirai-tirai rahasia Ilahi. Akibatnya, kegersangan akidah menimpa umat Islam. Materi ilmu tauhid pun hanya berhenti di mulut dan berkembang melalui ruang-ruang diskusi saja, sementara sisi serap nurani dibiarkan hampa dan aspek pengamalan akidah menjadi terbengkalai. Padahal aspek pembenaran nurani adalah pelabuhan terakhir dari tujuan tauhid itu sendiri.
(3). Bila kita hendak menerima upaya pengabungan akidah antar agama, seperti didengung-dengungkan oleh para pemikir kontemporer, maka absurditas peran akidah pun tidak dapat terelakkan. Akidah sebagai media pengesaan dan bukti ketundukan seorang hamba kepada Sang Pencipta, akan sulit dicapai bila kita bersedia bertoleransi dengan mengakui bahwa Tuhan itu berjumlah tiga, misalnya, atau agama yang diturunkan oleh Allah Swt. tidak lebih dari sekedar simbol kepatuhan belaka. Keharusan memeluk agama Islam yang didakwahkan Allah Swt. melalui perantara Muhammad Saw., tidak akan ada artinya bila akidah semua agama kita anggap sama. Lalu untuk apa Muhammad Saw. diutus bila ujung-ujungnya semua agama sama saja? Bukankah dengan demikian Allah Swt. hanya main-main mengutus Muhammad Saw.? Sungguh absurd dan irasional.
Karena itu, sudah selayaknya kita kembali ke jalur yang fitri; jalur yang diajarkan oleh Muhammad Saw. bersama sahabat-sahabatnya. Jalur yang tidak memerlukan penalaran analogis maupun filosofis, namun mampu menyirami hati nurani dengan sinar- sinar keimanan dan keyakinan yang teguh dan mantap. Dan itu semua bisa kita peroleh dari perilaku bertauhid Nabi Saw. bersama sahabat-sahabatnya.
Sebagaimana kita ketahui, generasi awal yang terdiri dari para sahabat dan tabi’in menerima dan mengajarkan Islam secara utuh, seimbang, mendalam dan komprehensif, tanpa menonjolkan salah satu bidang. Ketika mereka menguatkan aspek batiniyah, mereka tidak melupakan aspek lahiriyah. Ketika mereka mengejar urusan ukhrawi, mereka tidak melalaikan urusan duniawi. Ketika mereka meyakini akidah, mereka tidak meninggalkan akhlak dan syariah. Pendek kata, mereka memberi perhatian terhadap akal, ruh, dan jasad secara menyeluruh dan seimbang.
Hal ini merupakan bukti bahwa Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya memposisikan ajaran Islam pada jalur-jalur yang fitrah. Jalur yang fitrah berarti memposisikan semangat bertauhid agar sesuai dengan fitrah ketuhanan dan fitrah kemanusiaan. Fitrah ketuhanan adalah pemosisian Tuhan sebagai ”entitas” yang tak mungkin dijangkau nalar, sementara fitrah kemanusiaan berarti meletakkan nalar sesuai batas-batas yang dimilikinya. Hal inilah yang menjadi pondasi tauhid para sahabat; menjalankan tauhid pada area batas nalar yang fitrah, dan memposisikan ”tirai” ketuhanan di luar jangkauannya.
Berbeda dengan
masalah penciptaan
alam semesta, Allah Swt.
justru mendorong agar
kita selalu meneliti dan
memikirkannya. Dan itu disadari betul oleh Nabi
Saw. dan sahabat-
sahabatnya. Karena itu,
area pemikiran mereka
hanya terbatas pada
fakta penciptaan ini. Artinya, untuk
mengetahui zat Allah
Swt. tidak perlu dengan
memikirkan zat-Nya, tapi
pikirkanlah bagaimana
ciptaan-Nya. Pikirkan bagaiamana Allah Swt.
menata alam semesta
sedemikian teratur dan
sistematis. Pikirkan
bagaimana Allah
menghiasi alam semesta sedemikian indah.
Sedangkan manusia,
atau makhluk apapun
selain Allah Swt.,
jangankan menciptkan
dan mengatur alam semesta, membuat
seekor lalatpun pasti
tidak mampu (al-Hajj: 73).
Selain itu, lihat pula alam
sekeliling, bagaimana
hujan diturunkan, kemudian bumi nan subur ini terbelah, lalu muncullah benih-benih biji-bijian yang kemudian membesar menjadi pepohonan, dan pada akhirnya menghasilkan buah-buahan guna memenuhi kebutuhan manusia (al-‘Abasa: 28).
Manusia juga diajak
memikirkan asal
penciptaan dirinya. Ia
pada mulanya hanya
setetes mani yang
membuncah dari tulang- tulang rusuk, kemudian
menjadi segumpal
darah, lalu membesar
menjadi segumpal
daging yang kemudian
dipakaikan tulang- belulang guna
menguatkan dagingnya
agar bisa tegak berdiri.
Selain itu, pikirkan pula
bagaiamana unta
diciptakan, bagiamana langit ditinggikan,
bagaiamana gunung
ditegakkan, dan
bagaiamana bumi
dibentangkan (al-
Ghasyiah:20). Pandang pula malam hari
bagaiamana kilauan
bintang-bintang di
langit, rembulan dengan
segala keindahannya,
angin semilir yang menyejukkan jiwa, atau
ketenangan malam hari
dikala manusia telah
terlelap tidur.
Ketika Nabi SAW. melihat
sekumpulan sahabat
sedang berkumpul dan
termenung memikirkan
sesuatu, beliau
bertanya, ”Apa yang kalian pikirkan?”. ”Kami
sedang berfikir tentang
Allah,” jawab mereka.
Mendengar jawaban itu,
beliau justru bersabda:
ﻲﻓ ﺍﻭﺮﻜﻔﺗ ﻻ ﻪﻠﻟﺍ
ﻲﻓ ﺍﻭﺮﻜﻔﺗﻭ
ﻪﻠﻟﺍ ﻖﻠﺧ
(jangan berpikir tentang
Allah, tapi berpikirlah
mengenai ciptaan-Nya). Tepat di titik inilah posisi
tauhid generasi Nabi
Saw. dan sahabat
teruraikan, sehingga
mereka mempercayai
dan meyakini kebesaran dan keesaan Allah tanpa
banyak bertanya atau
mengandai-andai akan
sesuatu yang tidak
mungkin atau tidak
masuk akal, tertutama yang berkaitan dengan
Zat Allah Swt. Karena itu,
kesimpulan kami
adalah: Tauhid yang
paling tepat kita ikuti
adalah tauhid yang dipraktekkan oleh Nabi
Saw. dan sahabat-
sahabatnya.[1] Wallahu A’lam
Tulisan ini merupakan
ulasan dari buku yang
berjudul Akidah Kaum
Sarungan : Refleksi
Mengais Kebeningan
Tauhid terbitan santri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Semoga kita semua termasuk orang2 yang menggunakan akal sehat nya..
BalasHapusamiin.. Itulah yang diharapkan.. :)
BalasHapus